Al
Farabi
870-950
M
Berasal
dari: Kota Farab, Kazakhstan
Kontribusi
Selama
hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan,
karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian. - Logika - Ilmu-ilmu
Matematika - Ilmu Alam - Teologi - Ilmu Politik dan kenegaraan - Bunga rampai
(Kutub Munawwa’ah). Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah
(Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman
Plato dengan hukum Ilahiah islam.
Cerita
Singkat
Nama
lengkap Al Farabi adalah Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi. Beliau
adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan.
Sejak
dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk
menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Al-Farabi muda belajar
ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50.
Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf
Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di
berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles,
karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru
pertama dalam ilmu filsafat.
1.
BIOGRAFI AL FARABI
Al-Farabi mempunyai
nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn
Al-Uzalagh Al-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan
Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan
Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di
Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M),
kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang
Iran menikah dengan wanita Turki.[1]
Sangat
sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi
biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita
ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang
Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana
wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan
kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada
pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di Damaskus pada
bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar
gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]
2.
PENDIDIKAN AL FARABI
Sejak
kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia
mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan
Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa
Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh
di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]
Untuk
memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad
pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu
pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal
ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai
hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang
filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika,
fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu
lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru
kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius
Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang
Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan
filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi
pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat.
Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar,
mengajar, dan menulis filsafat.
3.
KARIER AL FARABI
Al-Farabi
dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan
memandang filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna,
sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak
mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan
usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles
melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’,
pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan
Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan
Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]
Pada
tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif
Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau
bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan
cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang
kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal
sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau
sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih
memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan
kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi
kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada
fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun
Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah.
4.
POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI
Pokok-pokok
pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
a.
Filsafat Al Farabi
Al
Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al
Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari
segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu
mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan
ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan
perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang,
bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke
dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara
filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi
hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.
Al
Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari
kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.
Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang
maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke
situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan
kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya
(kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat
ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab
yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan
kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]
b.
Filsafat Politik Al Farabi
Al
Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk
tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan
tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat
melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan
cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk
operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini
haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar
baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]
c.
Definisi dan Esensi Jiwa
Al
Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu
‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki
kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi
fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk
yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan
fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam.
Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
d.
Filsafat Metafisika Al Farabi
Pembicaraan
metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.
1.
Ilmu Ketuhanan
Al-Farabi
membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga[16], yaitu:
-
Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
-
Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (particulars),
yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu.
Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya.
-
Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam
benda-benda itu.
2.
Wujud
Al
Farabi membagi wujud kepada dua bagian[17], yaitu:
-
Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya
yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri
menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya
adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi
wujud yang nyata karena matahari.
-
Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu
sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka
akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada
sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang
wajib ada inilah Tuhan.
3.
Sifat-Sifat Tuhan
Tuhan
adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran)
murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran
adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan
benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-Nya juga menjadi
obyek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk menjadi
obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia
adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan
zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi
obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga akal (pikiran),
zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal, ‘aqil, dan
ma’qul.[18]
e.
Filsafat Kenabian Al Farabi
Persoalan
kenabian ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit,
di mana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi).
Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak.
Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus
dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas seorang nabi
bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi
dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘Aql Fa’al
(akal 10) ia dapat menerima fisi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu.
Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang dalam penjelasan al
Farabi adalah Jibril.[19] Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia,
pertolongan Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk, seperti
malaikat-malaikat lain juga, bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan
nabi-nabi-Nya.[20]
f.
Pola Pikir Tasawuf Al Farabi
Al
Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana
sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini
kita bias melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al
Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang
kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik
psikologis, moral, maupun politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang
dikatakan Al Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah
tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism
dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju
derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang
berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna
apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara
esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan
demikian, meski sudak memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus ada
keutamaan-keutamaan rasional teoritis.[21]
g.
Teori Kebahagiaan
Menurut
Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan
itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek
rasional dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku
yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.[22] Manusia mencapai
kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya
berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan
dengan semua perilaku yang sesuai, tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur
yang berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas dan terukur.
Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah
perilaku yang baik. Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang baik
adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk
kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai kebahagiaan. Perilaku yang
menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan
bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.
h.
Logika
Sebagian
besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini
hanya terbatas pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh
para sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika
umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran
yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan
menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan
yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan
kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan
aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya,
sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.[23]
i.
Teori Pengetahuan
Al
Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan
masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas
terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil
penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan
indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan
kemanusiaan.[24] Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita
informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi
lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala
sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.[25]
j.
Teori Akal
Al
Farabi mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:
Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti di kerjakan; dan teoritis,
yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi
dua, yaitu:
1)
Akal fisik (material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi
sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai
kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa
disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi
dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu
seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena
akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek
rasional yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum
dipikirkan adalah potensi.
2)
Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal
maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan mengunkan realisasi akal yang
telah dikembangkan.
k.
Teori Sepuluh Kecerdasan
Teori
ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia,
langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan
dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah memecahkan masalah
yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap.
Al Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya.
Karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia
mampu mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran
yang bukan berupa benda. Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia
menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa
akal Tuhan adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul,
Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu
wujud baru atau akal baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al
Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul
tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melimpah ke
Al Aqlits Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha (langit
yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits
Tsani, memimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul
Kawakibits Tsabitah, langit bintang-bintang tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis
melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang Zuhal
(Saturnus). Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya
langit bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama
bintang Mirris (Mars). Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan
munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit
bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang
‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan
Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active
Intellect.
Jumlah
inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan
inteligensi planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al
Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika
memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi
Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.
5
KARYA-KARYA AL FARABI
Al
Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan
dalam bebrapa tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi,
music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof
tertentu.[26] Karya-karya Al Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:
- Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
- Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan tentang-Nya.
- Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
- Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya)
- Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
- Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
- Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
- Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)
- Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
- As Syiyasyah (Ilmu Politik)
- Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
- Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
- Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)
- Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)